HAIKS HAIKS HAIKS!
“Haiks haiks haiks!”
Tawa itu bergema, berlomba-lomba dengan gemuruh guntur
di siang yang tak cerah. Ketika tangis langit semakin menjadi-jadi, tawa Marlin
juga menjadi-jadi—begitu juga ketika tangis langit reda tawanya juga reda.
Kurus kering badannya dilapisi kulit putih pucat, kantung matanya menghitam,
merah bibirnya memudar namun senyuman itu terus hadir di sana ... walau tampak
dipaksakan. Dan rambut panjangnya begitu kusut tidak terurus.
“Haiks haiks haiks!”
Lagi-lagi dia tertawa ... hmn, tunggu. Jika kalian
jeli, tawanya tidak sepenuhnya hanyalah tawa ... bukan begitu?
“Hei ... kenapa terus mematung? Bilang kalo bosan jadi
manusia, haiks haiks haiks ...!” Marlin sontak mengejutkan pria yang sedari
tadi memandangnya dari kejauhan. Ujarnya lagi, “Aku Kartika, pelajar SMA,
jurusan MIPA. Iya ... jurusan MIPA, tabel perkalian nggak hafal, apalagi tabel
periodik unsur. Dan luar biasa sekali aku bisa masuk di jurusan itu. Jangan
tanya kenapa, aku tidak tahu. Yap ... biarlah, toh, berguna juga sebagai bahan
pamer. Begitu kan orangorang sekarang, jenderal? Haiks, haiks, haiks ...! Sini
sini merapat! aku ceritain. Mau denger apa nggak?”
Pria berjas putih panjang itu merapat. Jawabnya
kemudian, “Teruskan ... aku mendengarmu, Marlin.”
“Haiks haiks haiks! Marlin?! Sudah aku bilang aku ini
Kartika!”
“Iya, iya, maksudku Kartika ... tenangkan dirimu.”
Dengan kegirangan gadis itu melompat-lompat, air hujan
yang tergenang terciprat di sekitarnya—bahkan membasahi jas putih milik pria
itu. “Sudah ... berhenti Kartika. Ayo masuk ke dalam!”
Gadis itu menggeleng. “Haiks haiks haiks! Aku ingin
cerita!”
“Ya oke ... kalau sudah selesai cerita kita masuk ke
dalam ya ....”
Waswas, pria itu menunggu jawaban darinya. Untuk
beberapa saat gadis itu diam tak berekspresi ... dan tiba-tiba saja dia
tersenyum lebar, walau matanya sendu. Ujarnya kemudian dengan ceria, “Oke!”
Gadis yang mengaku sebagai Kartika itu kemudian duduk
di meja kayu dengan corak bunga yang terkesan antik. “Baik aku mulai ceritanya
ya!” Pria itu mengangguk pelan sebagai jawabannya.
“Di suatu negeri, negeri ini sangat lucu. Haiks haiks
haiks ...! Saking lucunya 'ndral ... sampai-sampai yang melihatnya menjadi ...
ingin tertawa tersedu-sedu. Banyak anak-anak menjadi korban. Pasar-pasarnya
menyediakan organ-organ binatang, lengkap sekali dari atas sampai bawah. Banyak
virus-virus yang menyebar. Negeri Komedi Putar, itu namanya. Negeri itu jenderal,
memiliki sistem, namanya sistem kedodolan yang mengikat masyarakat dengan
undang-undang bikin pusing tujuh semesta. Siapa yang membuat sistem itu?
Tentunya mereka-mereka yang otaknya kayak dodol. Seenak jidat menentukan mana
yang benar mana yang salah. Mana yang mesti dikuasai dan mana yang tidak perlu,
mana yang mesti dijadikan binatang peliharaan dan mana yang bukan ... haiks
haiks haiks! Padahal mereka juga binatang. Astaga, jendral! Haiks haiks haiks!
Negeri Komedi Putar itu, 'ndral ... dikuasai sama kaum
tikus, sementara kucing-kucing dan binatang lainnya ada yang menjadi penjilat
dan sejenisnya. Di negeri itu ada dua pemukiman. Yang satu kilau-silau-gemilau
dengan berbagai desain glamour nan kokoh. Woah, hebat bukan?! Anti hujan, anti
petir, dan anti badai namun ... tidak anti kecongkakan, tidak anti kezaliman,
dan tidak anti kerakusan. Haiks haiks haiks! Sementara di pemukiman yang
satunya lagi, 'ndral, berdirilah bangunan-bangunan reyot yang penuh tinja dan
sampah. Masyarakat di pemukiman reyot itu tidak perlu susah-susah cari makanan
... tinja dan sampah pun bisa jadi makanan ... untuk bertahan hidup di negeri
komedi putar. Tentu saja mereka merasa kenyang daripada mencuri seperti para
tikus yang tinggal di pemukiman serba kilau-silau-gemilau bikin sakit mata itu.
Haiks haiks haiks!
Owh iya, pendidikan di sana jendral ... hanya
mencerdaskan anak-anak tikus. Sementara anak hewan lainnya, yah ... terlebih
anak-anak anjing, mereka diajarkan menjadi anjing yang patuh dan baik. Sementara
anak-anak kucing ... haiks haiks haiks! Tak perlu pelajaran tak apa-apa,
asalkan jago menjilat dan tentulah patuh pada tikus agar mendapat ikan yang
banyak untuk hidup, begitulah nasib kucing di Negeri Komedi Putar.
Ndral, di negeri itu banyak yang berbicara kayak
superhero dengan kalimat-kalimat seperti; “Ini semua untuk pembangunan bersama,
ini semua demi mencapai cita-cita bangsa, ini semua demi kepentingan bersama
dan lain-lain.” Ternyata oh ternyata jendral, setelah diteliti ... maksud
mereka demi kepentingan diri sendiri dan kelompok. Haiks, haiks, haiks ...!
Dasar binatang!
Kaum-kaum intelektual (katanya) atau memang sok
intelektual dengan asyiknya berdebat mencari jalan keluar untuk membantu yang
lemah dan tidak mampu. Iya, katanya berdebat demi kepentingan Negeri Komedi
Putar dan masyarakatnya ... ternyata malah kayak olahraga boxing,
saling pamer otak siapa yang paling berotot ... berurat. Dan mulut siapa paling
sedap dan panas terdengar. Melihat itu jendral ... menangislah ibu pertiwi
mereka sambil tersedu-sedu, sampai keluar ingus. Haiks, haiks, haiks ...!
Kasihan ... oh, kasihan!
Hmn ... pencerahan? Kurang berguna di Negeri Komedi
Putar, ndral. Banyak kalimat omong kosong di sana. Kalimat yang isinya yah,
jendral, isinya itu banyak iming-iming penuh mimpi indah—kayak wonderland atau
juga candyland—yang manis-manis nyatanya bikin diabetes tuh ....
“Semuanya akan indah pada waktunya,” “Beranilah ambil resiko,” lah, kalo
resikonya kecebur kan mampus bin tobat. Terus nih yah, 'ndral, ada juga
motivator yang berkata, “Sekolah tinggi-tinggi supaya sukses di masa
mendatang.” Dan masih banyak lagi kata-kata motivasi Negeri Komedi Putar yang
sayangnya sekedar sebuah aksara indah dari para motivator yang pengen mulia dan
numpang tenar di depan masyarakat Negeri Komedi Putar. Haiks haiks haiks ...
itu ceritaku, tentang Negeri Komedi Putar, 'ndral. Sudah ah, Kartika lelah.
Lanjut besok! Haiks haiks haiks!”
Begitu dia selesai bercerita, seperti biasa aku
mengapresiasinya dengan tepuk tangan. Yah, walau gadis itu sama sekali tidak
memperdulikan apresiasi dariku. Perkenalkan, namanya Marlin. Namun sering kali
dia tidak terima dengan nama aslinya itu, gadis itu kerap kali menyebut dirinya
sebagai Kartika, kadang-kadang Juminten, kadang-kadang juga Sumarni, Sinta,
Saraswati, dan nama-nama lainnya. Pasienku yang satu itu memang beda dari yang
lain, dia sangat pandai bercerita dan juga bisa aku katakan dia itu seorang
yang jenius. Namun, sayang sekali bulan lalu kedua orang tuanya membawa gadis
itu ke tempat ini. Selulusnya dari SMA, dia banyak sekali melantur segala macam
kepada orang tua, tetangganya, bahkan orang-orang di sekitarnya. Kerap kali
Marlin menganggap dirinya masih sebagai siswi SMA, kadang juga dia suka mengaku
sebagai agen rahasia yang ingin menghancurkan orang-orang di balik layar ...
hmn, entahlah aku kurang mengerti siapa yang dimaksudnya. Dan kadang juga ...
gadis itu sering mengaku sebagai budayawan yang begitu prihatin terhadap rakyat
dan negeri ini.
“Nah, sudah selesai ceritanya, sekarang ayo masuk yah, Marlin—”
Spontan tangan kurusnya yang terasa dingin itu menutup
mulutku. “Diam, jendral! Kartika, namaku Kar-ti-ka, oke?!”
“Iya ... maksudku Kartika. Ayo masuk ke dalam, nanti
masuk angin. Lihat Kartika sudah basah kuyup begini karena hujan.” Bujukku.
Gadis itu malah menepis tanganku. Tatapan matanya
melotot—sangat marah. “Nggak! Kenapa orang-orang selalu menghindari hujan?
Padahal dia tidak pernah nakal sama aku ... pokoknya, biarin masuk angin, bodoh
amat! Haiks haiks haiks!”
Sungguh, Marlin itu pasien yang paling merepotkan.
“Hei, Kartika, dengar dulu ... kamu tahu apa yang ada di dalam sana?”
Dia menggeleng. “Apa memangnya? Permen? Van Gogh? Owh,
owh, aku tahu! Apa jangan-jangan rahasia?!”
Maafkan aku, terpaksa aku berbohong untuk kesekian
kalinya. “Ya, rahasia!”
“Bohong pasti, haiks haiks haiks! Mana mungkin ada
rahasia.”
“Ada. Di dalam sana ada sesuatu. Sesuatu yang akan
mengungkapkan kebenaran.”
“Katakan! Apa itu, jendral?!” Bagus, perkembangan yang
bagus. Dia mulai tertarik.
“Ya rahasia, kalau mau tahu ... ayo masuk! Ungkapkan kebenarannya, Kartika.”
Berlahan aku menuju pintu. Marlin dengan langkah yang
berlahan-lahan mengekoriku hingga masuk ke dalam. Dia terus mengikutiku hingga
sampai di depan kamarnya.
“Nah, jawabannya ada di dalam sana. Ayo cepat lihat!”
Pelan-pelan dan pasti dia masuk ke dalam kamarnya.
Ketika Marlin semakin masuk ke dalam, cepat-cepat aku mengunci pintunya.
Spontan gadis itu berteriak-teriak, umpatannya dapat kudengar. Untunglah
sebelum masuk aku sempat menyuntiknya tanpa sepengetahuannya, efek itu tak lama
lagi akan bekerja—dia pasti akan kembali tenang.
Tangis langit dan gemuruh guntur berhenti begitupun
dengan pekerjaanku hari ini. Pasien-pasien rumah sakit jiwa selesai kuurus.
Sungguh, pekerjaan ini menguras tenaga, raga juga jiwa. Biarpun begitu aku
menyukai pekerjaanku. Aku akan kembali ke rumah—bersama dengan istriku dan dua
anak kembarku. Sungguh, aku sangat tidak sabar duduk makan malam dan bercanda
gurau bersama mereka lagi.
Cepat-cepat kakiku melangkah menuju halaman parkir,
memasuki mobil sedan hitam. Namun, entah kenapa pintunya tidak bisa dibuka. Aku
tidak ingat pasti kalau mobilku ada masalah, terlebih lagi pada pintunya. Tetiba
saja temanku, sesama dokter menepuk bahuku dari belakang. Dengan lantang dia
berteriak, “Hei! Itu mobilku, apa yang kamu lakukan?” Oh, pantas saja tidak
bisa dibuka, ternyata aku salah mobil.
“Ahaha ... maaf kawan, aku kira ini mobil—”
“Kembali ke kamarmu, orang gila! Pak! Ada yang
lepas!”
Tetiba saja datang beberapa petugas. Aku ditahan,
mereka menyeretku masuk kembali ke RSJ itu. Ketika melewati kamar Marlin, gadis
itu tersenyum. “Astaga, jendral! Kamu juga?! Haiks haiks haiks ...!”
___
Tinggogoy Rani, Oktober 2020
Komentar
Posting Komentar